PINTARKILAT.com – Hari terasa lambat dan sunyi bagi Arum. Cerita tepat tiga bulan setelah ibunya berpulang untuk selamanya, hidup yang semula sudah rapuh seolah dihantam badai kedua. Pada 15 Mei 2025, ia menerima surat pemutusan hubungan kerja dari perusahaan tempat ia menggantungkan harapan selama lima tahun terakhir.
Cerita Arum Hari-Hari Tanpa Arah
Kabar itu bukan hanya mengejutkan, tetapi juga menyesakkan. Belum benar-benar sembuh dari duka yang dalam, kini Arum harus kembali menguatkan diri menghadapi realita bahwa ia tak lagi memiliki pekerjaan yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya.
“Sebelum aku di-PHK, memang sudah ada tanda-tanda. Tapi tetap saja, waktu beneran terjadi, aku seperti lumpuh,” ujar Arum saat diwawancarai oleh PintarKilat.com, Kamis (15/5/2025).
Arum menceritakan bahwa kepergian ibunya pada awal Februari membuat emosinya tidak stabil. Meski tubuhnya tetap datang ke kantor setiap hari, pikirannya sering melayang. Ia merasa kosong, seakan hanya menjalankan rutinitas tanpa jiwa.
“Sebenarnya aku sempat cerita ke supervisor. Aku bilang, aku masih berduka dan belum bisa sepenuhnya fokus. Tapi aku juga bilang, aku nggak mau cuti karena takut potong gaji,” ungkapnya lirih.
Sang atasan sempat menunjukkan empati dan menyarankan Arum untuk mengambil waktu istirahat. Namun, Arum menolaknya. Selain karena kekhawatiran finansial, ia juga berpikir bahwa bekerja bisa membantu mengalihkan pikirannya dari kesedihan.
Sayangnya, keputusan itu malah menjadi bumerang. Produktivitas Arum semakin menurun. Ia jadi mudah lupa, sering terlambat mengumpulkan laporan, bahkan beberapa kali melakukan kesalahan kecil yang tidak biasa ia lakukan sebelumnya. Pihak manajemen mulai mencatat performanya.
“Satu bulan terakhir, aku sering dipanggil ke ruang evaluasi. Mereka tanya kenapa aku terlihat lesu, kenapa output kerjaku menurun,” kata Arum. “Aku jawab terus terang, aku lagi berproses. Tapi sepertinya itu nggak cukup.”
Pada akhirnya, manajemen memutuskan untuk memberhentikan Arum. Mereka menyebut keputusan itu sebagai langkah perusahaan untuk menjaga efisiensi dan kualitas kerja tim. Meski tidak ada kata-kata kasar, Arum tetap merasa tersingkir di saat ia justru sedang membutuhkan penguatan.
“Mereka bilang, ini bukan soal pribadi, tapi soal performa. Tapi tetap saja, rasanya seperti ditinggalkan saat lagi jatuh-jatuhnya,” tambahnya.
Setelah menerima surat PHK, Arum menghabiskan beberapa hari hanya berdiam di kamar. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan: bagaimana membayar kos bulan depan, dari mana uang untuk makan, dan bagaimana jika tidak segera mendapat pekerjaan baru?
“Waktu itu aku benar-benar merasa hampa. Aku hanya bisa duduk, menangis, lalu tidur. Aku kehilangan arah,” ungkapnya.
Namun di tengah keterpurukan itu, Arum perlahan mencoba untuk berdiri kembali. Ia mulai membuka diri kepada sahabat-sahabatnya, menerima dukungan dari komunitas kecil yang pernah ia bantu sebagai relawan. Satu per satu, ia mulai bercerita dan meringankan beban emosinya.
Ia juga menulis jurnal setiap hari. Dari sana, ia menyadari bahwa rasa kehilangan dan ditinggalkan bukan akhir dari segalanya. Arum mulai meyakinkan dirinya bahwa setiap luka, seberapapun dalamnya, pasti bisa sembuh dengan waktu dan keikhlasan.
“Aku mulai kasih afirmasi positif ke diri sendiri. Aku tulis: Aku kuat. Aku akan bangkit. Aku tidak sendiri. Dan itu aku ulang-ulang setiap pagi,” tuturnya dengan suara lebih tenang.
Kini, Arum belum sepenuhnya pulih, namun ia sudah melangkah. Ia mengikuti beberapa pelatihan daring, memperbarui CV-nya, dan mulai melamar pekerjaan baru. Ia juga menerima beberapa tawaran freelance menulis dari teman-teman komunitasnya.
Lebih dari itu, ia belajar untuk menerima setiap peristiwa dalam hidupnya sebagai bagian dari proses pertumbuhan.
“Aku percaya, semua cobaan yang datang pasti ada tujuannya. Mungkin sekarang berat, tapi aku yakin, nanti aku akan lihat kembali masa ini sebagai masa yang membentuk aku jadi lebih kuat,” tutup Arum kepada tim PintarKilat.com.